Pages

Ads 468x60px

Rabu, 23 Januari 2013

SDN 02 LOMENENG, PANINGGARAN, PEKALONGAN



Dulu sekali, ketika aku masih aktif berburu sebagai  penyaluran hobiku, aku sampai pada suatu pedukuhan dari sebuah desa.  Seperti  biasa, setelah lelah berburu, tentu yang dicari adalah warung, atau apalah namanya yang penting ada minuman dan makanan kecil sebagai pelepas lapar dahaga. Masih di sekitar rumah yang menyediakan minuman tadi, iseng – iseng  aku bersama pasukan kecilku beristirahat melepas lelah di teras sebuah bangunan. Yach, bangunan yang kami tempati ternyata gedung sekolah. Tanpa melihat papan nama atau identitas lain, aku tau pasti  itu adalah gedung  sekolah SDN Lomeneng 02 ( kini berubah nama menjadi SDN 02 Lomeneng). Saat itu sempat terlintas dalam pikiranku, bukan tidak mungkin suatu saat nanti aku dimutasi ke sini .  Sebagai catatan,  saat itu aku masih aktif mengajar di SDN Kaliboja 01.
    Seiring berjalannya waktu, aku berpindah tugas dari SDN kaliboja 01 ke SDN Domiyang 02. Perlu diketahui bahwa aku bertugas di SDN kaliboja mulai tahun 1987 sampa tahun 1999. Sebenarnya sangat betah bekerja di sana karena suasana sekolah sangat kondusif penuh keakraban dan kekeluargaan. Tetapi  ada yang menjadi  kendala dalam tugasku karena saat itu aku menderita sinusisit akut. Oleh dokter aku di sarankan untuk  mencari daerah yang yang lebih hangat agar penyakitku tidak kumat lagi. Oleh sebab itu pada tahun 1999 aku mengajukan mutasi ke SDN 02 yang notabene lebih hangat. Benar saja, kehangatan iklim di SDN 02 membuatku lebih fresh, dengan demikian aku bisa maksimal dalam menjalankan tugas untuk mendidik murid – muridku.
    Dengan semangat yang luar biasa, dengan dukungan dari berbagai pihak, aku bisa mengantar murid – murid mencapai  empat besar dalam Ujian Nasional dari 27 SD dan 6 MI. Aku bersyukur, ternyata dengan tekad dan semangat  yang tinggi aku bisa mengantar anak – anak mencapai hasil maksimal. Namun yang namanya manusia, ada saja “godaan” yang mengharuskan aku mutasi ke sekolah lain.  Akhirnya pada tahun 2001 aku pindah tugas ke SDN Lomeneng 01. Tiga tahun bertugas di SDN Lomeneng satu aku minta pindah ke SDN Paninggaran 02. Lima tahun  di SDN Paninggaran 02 aku ditarik ke SDN 03 paninggaran yang merupakan SDN favorit di kecamatan Paninggaran. Dan satu tahun kemudian aku mendapat tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah di SDN 02 botosari.
    Kurang lebih dua tahun bertugas sebagai guru dengan tugas tambahan sebagai kepala sekolah di SDN 02 botosari, aku berpindah tugas lagi ke SDN 02 kaliboja. Hanya enam bulan mengabdikan diri di SDN 02 Kaliboja, aku di mutasi lagi ke SDN 02 lomeneng.
    Yach, hari pertama bertugas di SDN 02 lomeneng  ini anganku melayang ke jaman dulu. Jaman ketika aku berburu di perkebunan dukuh sikembang , mampir warung yang menyediakan minuman dan makanan kecil sekedarnya, dan saat aku “numpang istirahat” melepas lelah di tempat ini, di teras sekolahan ini. Dan kini aku benar – benar menjadi  BAGIAN DARI SEKOLAHAN INI. Sebuah sekolah yang dulu bernama SDN lomeneng 02 yg kini telah berubah istilah dengan sebutan baru sebagai SDN 02 Lomeneng.
    Anganku kembali melayang, mengembara ke masa lalu. Mengingatkanku pada tugas – tugasku dengan segala pernak perniknya. Ugh, ternyata memori ingatanku masih cukup bagus, sehingga  apa yang pernah terjadi di masa lalu kembali  terpampang dengan sangat jelas di hadapanku.  Wach,,,,seperti lagi nonton biografi  seorang  AHMAD ZAINUDIN di gedung bioskop saja.
Ups.........aku tidak boleh terlena apalagi larut dengan masa laluku. Aku gak mau lamunanku meracuni otak dan pikiranku, aku gak mau lamunanku meracuni “RASAKU”. Aku harus realistis. Aku adalah AHMAD ZAINUDIN YANG SEKARANG, yang diberi tanggung jawab bersama teman teman guru dan karyawanuntuk mengelola kegiatan belajar menngajar di sekolah ini.  Aku gak boleh memanjakan rasaku untuk kembali ke masa lalu, aku harus benar - benar mengubur dunia lamaku. manis pahit, asam hambar adalah masa lalu yang harus masuk musium kenangan.

    Selamat tinggal masa lalu, dan selamat datang masa kini. semoga ada yang bisa memberi motivasi agar semangatku menyala seperti dulu, saat pertama aku diberi tugas sebagai guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah. bagaimanapun juga masa lalu adalah bagian dari sejarah hidupku yang tak terpisahkan.



Kamis, 10 Januari 2013

MBAH WALI TANDURAN

    Beberapa waktu lalu saya membaca beberapa tulisan yang berhubungan dengan wali Tanduran. banyak persamaan tapi ada juga beberapa perbedaan terutama yang berhubungan dengan nama tokoh dan waktu terjadinya kisah tersebut. ini bisa dimaklumi karena memang ada beberapa versi berkenaan dengan sejarah wali tanduran. Dengan tidak mengurangi rasa hormat pada penulis terdahulu dan juga pendapat para tokoh agama, saya coba ''memuat'' sebuah tulisan barangkali bisa dijadika sebagai bahan perbandingan.Tulisan yang saya maksud berjudul "Paninggaran riwayatmu dulu", yang disusun oleh Yoseph Iskandar, Drs. Deden Guntari dan Dra. Anne Erlyane dari Universitas Pasundan, Bandung.
    Namun sebelumnya perlu saya awali dengan situasi dan kondisi Paninggaran saat ini. Paninggaran merupakan salah satu kecamatan dari kabupaten Pekalongan. terletak sekitar 25 Km dari ibu kota kabupaten ke arah selatan. Terdiri dari 15 desa, dengan mayoritas penduduknya beragama islam. Masyarakatnya sangat menghormati para Ulama dan Habaib, ini sebagai bentuk rasa cinta pada agama yang dianutnya. Terhadap para pemimpin pemerintahan, masyarakat paninggaran juga sangat menghormatinya. ini sebagai bentuk pengakuan bahwa siapapun yang menjadi kepala daerah kabupaten Pekalongan adalah orang - orang yang benar- benar mempunyai kelebihan di berbagai bidang, khususnya dalam bidang pemerintahan.
    Adapun sejarah Mbah Wali Tanduran berawal dari sebuah "Makam" atau mungkin saja "Petilasan" yang terletak di desa paninggaran. Tepatnya seekitar 200 meter dari ibu kota kecamatan paninggran. "Makam" ini cukup dikeramatkan karena masyarakat percaya bahwa Mbah Wali Tanduran adalah termasuk salah seorang tokoh penyebar agama islam dan juga mengajarkan cara bercocok tanam sehingga mendapat sebutan "Wali Tanduran". ini juga sebagai bentuk penghormatan masyarakat Paninggaran khususnya kepada para Tokoh yang dianggap berjasa dalam penyebaran dan pengajaran agama Islam.
    Sekali lagi maksud saya memuat Tulisan ini adalah untuk memperbanyak khasanah pengetahuan tentang Wali Tanduran, karena itu apabila ada perbedaan dengan tulisan terdahulu dan pendapat para tokoh saya mengharap kritik dan sarannya. Dan semua yang termuat murni hasil karya dari Yoseph Iskandar dkk. dari Lembaga Penelitian Perencanaan dan Pengabdian Mahasiswa UNIVERSITAS PASUNDANG, BANDUNG, JAWA BARAT. Berikut Kisah selengkapnya : 


Silsilah
Wali Tanduran



1.         Sri Baduga Maharaja                      x              2. Nyai Putri Subanglarang
( Prabu Siliwangi)                                 




 



3.         Pangeran Walangsungsang                4. Nyai Putri Larasantang                5. Raja Sangara
            Atau Cakrabuana                                atau Hajjah Syarifah Mudaim
Atau Haji Abdullah Iman
Atau Mbah Wali Tanduran



 



6.         Nyai Putri Pakungwati        x        7. Syarif Hidayatullah
                                                                               (Sunan Gunung Jati)



  8. Raja-raja Cirebon




1.         Sri Baduga Maharaja, atau dikenal sebagai Prabu Siliwangi adalah Penguasa Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan Pajajaran ( Bogor Sekarang ) pada abad ke-15 Masehi  

2.         Nyai Putri Subanglarang, adalah murid Syekh Quro dari Pesantren Pondok Quro Pura Dalem Karawang

3.         Pangeran Walangsungsang, atau Cakrabuana, atau Haji Abdullah Iman, atau menurut Cerita Rakyat Paninggaran disebut juga sebagai “Mbah Wali Tanduran” yang mendirikan Kerajaan Islam Cirebon

4.         Nyai Putri Larasantang, ketika menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah dengan kakaknya (Pangeran Walangsungsang) ia mendapatkan jodoh dengan Walikota Mesir yaitu Abdullah yang merupakan keturunan Nabi Besar Muhammad SAW ke-23

5.         Nyai Putri Pakungwati, adalah putrinya Pangeran Walangsungsang, ketika Keraton pertama didirikan di Cirebon dinamai pula Keraton Pakungwati

6.         Syarif Hidayatullah, adalah putranya Nyai Putri Larasantang dari Abdullah yang Walikota Mesir, Syarif Hidayatullah setelah menggantikan tahta “Mertua” yang juga “Uwa’ nya yaitu Pengeran Walangsungsang, ia bergelar Sunang Gunungjati, sebagai salah seorang wali dari Walisongo ing Jawa Dwipa (Pulau Jawa)




Kisah Mbah Wali Tanduran


Ketika Prabu Siliwangi bertahta di Tatar Sunda, ia berkuasa atas wilayah dari Ujung Kulon hingga Cipamali (Kali Pemali). Dari salah seorang Prameswarinya yang beragama Islam, yaitu Nyai Putri Subanglarang, ia berputra tiga orang yaitu (1) Pangeran Walangsungsang ; (2) Nyai Putri Larasantang ; (3) dan Raja Sangara.
Ketiga puranya itu diijinkan untuk mengikuti agama Ibunya yang Islam. Namun sebagai putra raja, Pangeran Walangsungsang tidak merasa puas belajar mengaji dari ibunya saja. Ia menjadi “”Satria Pengembara” mencari guru-guru agama yang dianggapnya memiliki Ilmu Islam yang tinggi.
Dalam suatu pengembaraannya di Gunung Merapi, dari orang-orangtua disamana memberikan wejangan “Kalau ingin menemukan guru agama yang baik dan tinggi ilmunya, temui saja Syekh Datuk Kahfi di Pesantren Amparan Jati Cirebon’.
Pangerang Walangsungsang berangkat dari Gunung Merapi ke Cirebon dengan cara jalan memintas. Dalam perjalanannya menuju Cirebon, berkali-kali Pangeran Walangsungsang berhenti dan beristirahat di berbagai tempat. Di setiap persinggahan, Pangeran Walangsungsang mengajarkan berbagai ilmu, diantaranya Ilmu Agama Islam, Ilmu Bertani dan Berladang, juga ilmu berburu binatang buas. Ilmunya itu dipelajari oleh masyarakat yang disinggahinya.
Di sebuah Pedukuhan, Pangeran Walangsungsang dikenal sebagai ahli bertani. Ilmu bercocok tanam ini dinamakan masyarakat dengan sebutan “Tanduran” oleh karena Pangeran Walangsungsang tak pernah memberitahukan nama aslinya (sedang menyamar) sehingga oleh masyarakat dan murid-muridnya hanya dikenal sebagai “Mbah Wali Tanduran”.
Kegemarannya sebagai pemburu Binatang Buas, sehingga oleh masyarakat setempat dikenal juga sebagai “Paninggaran” hingga kini sebutan itu melekat erat dan dijadikan nama desa yang juga Kecamatan, yaitu Desa Paninggaran dan Kecamatan Paninggaran.
Selama Pangeran Walangsungsang tinggal di Dusun yang sekarang dikenal “ Paninggaran” adiknya, Nyai Putri Larasantang mencarinya, dikawal ketat oleh pasukan Khusus Pajajaran yang terdiri dari “Harimau Lodaya”.
Nyai putri Larasantang singgah dan beristirahat di sebuah Puncak Gunung, sambil berdzikir memohon kepada Allah SWT, agar kakaknya yang ia cari dapat diketemukan. Setelah berhari-hari beristirahat di Puncak Gunung, ia mendapat petunjuk dari Alam Ghaib bahwa kakaknya itu berada di sebuah Dusun di kaki gunung yang dipakainya beristirahat.
Di sebuah bukit, yang sekarang disebut Dukuh Cokrah, Nyai Larasantang menemukan “Petilasan” yang terdiri dari hamparan batu-batu bekas tempat bertapa. Di Petilasan itu ia menadpatkan petunjuk, bahwa tempat tersebut asalnya tempat Mbah Wali Tanduran mengajarkan berbagai ilmunya. Namu sangat disayangkan, mbah Wali Tanduran yang rambutnya suka digelung (Magelung) itu, talah berangkat tapa meninggalkan pesan apa-apa, dan tidak memberitahukan kemana Mbah Wali Tanduran pergi.
Dengan rasa kecewa, akhirnya Nyai putri Larasantang meneruskan perjalanannya, bertanya-tanya ke setiap penduduk. Di sebuah tempat, tepatnya di Puncak  Bukit, Nyai Larasantang menemui para pengawalnya yang terdiri dari “Harimau Lodaya”.  Ia dengan pasukannya, beristirahat kembali di puncak bukit itu, semacam pesanggrahan yang dihampari batu-batuan yang juga disebut “Pesarean” yang juga berfungsi sebagai tempat bertapa, berdzikir memohon petunjuk dari Allah yang Maha Kuasa.
Dalam dzikirnya itu, Nyai Putri Larasantang mendapatkan petunjuk gaib, bahwa kakaknya yang ia cari sudah berada di Pesantren Amparan Jati Cirebon. Akhirnya Nyai Putri Larasantang bertemu dengan kakaknya di Pesantren Amparan Jati, yaitu Raja Sangara. Setelah menamatkan Ilmu Agama Islamnya, ketiga putra-putri Prabu Siliwangi itu, pergi menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah.
Dukuh Cakal-bakal (Pertama) tempat murid-muridnya Mbah Wali Tanduran disebut “Dukuh Pesantren” yang hingga kini terdiri dari Sebelas Rumah, dikenal sebagai “Kampung Pesantren”.
Puncak gunung tempat pertapaan (Peristirahatan) Nyai Putri Larasantang yang pertama, kemudian dikenal sebagai Gunung Pajajaran. Sedangkan bukit tempat peristirahatan yang kedua dikenal sebagai Gunung Santri.
Wallahuallam bishawab.

























Kisah ini bisa tersusun atas bantuan informasi dari :
1.              Bapak Penilik Kebudayaan Kecamatan Paninggaran, yaitu Bapak Suwadi di Paninggaran
2.              Bapak Kyai Muhammad di Paninggaran
3.              Bapak KH. Syarifudin di Wonopringgo
4.              Pustaka Purwaka Caruban Nagari, Transliterasi Pangeran Suleman Sulendraningrat, Kaprabon Cirebon.
5.              Pustaka Pangeran Wangsakerta, Cirebon
6.              Masyarakat Desa Paninggaran Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan yang dipimpin oleh Bapak Lurah H.Ahmad Hilal

Paninggaran, 5 Pebruari 1989
Disusun berdasarkan rasa cinta kepada masyarakat Desa Paninggaran
Oleh

1.       Yosep Iskandar        ( Ketua Tim )
2.       Drs. Deden Guntari ( Anggota )
3.       Dra. Anne Erlyane   ( Anggota )
Dari Universitas  Pasundan
JL. Tamansari No. 8 Bandung