Beberapa waktu lalu saya membaca beberapa tulisan yang berhubungan dengan wali Tanduran. banyak persamaan tapi ada juga beberapa perbedaan terutama yang berhubungan dengan nama tokoh dan waktu terjadinya kisah tersebut. ini bisa dimaklumi karena memang ada beberapa versi berkenaan dengan sejarah wali tanduran. Dengan tidak mengurangi rasa hormat pada penulis terdahulu dan juga pendapat para tokoh agama, saya coba ''memuat'' sebuah tulisan barangkali bisa dijadika sebagai bahan perbandingan.Tulisan yang saya maksud berjudul "Paninggaran riwayatmu dulu", yang disusun oleh Yoseph Iskandar, Drs. Deden Guntari dan Dra. Anne Erlyane dari Universitas Pasundan, Bandung.
Namun sebelumnya perlu saya awali dengan situasi dan kondisi Paninggaran saat ini. Paninggaran merupakan salah satu kecamatan dari kabupaten Pekalongan. terletak sekitar 25 Km dari ibu kota kabupaten ke arah selatan. Terdiri dari 15 desa, dengan mayoritas penduduknya beragama islam. Masyarakatnya sangat menghormati para Ulama dan Habaib, ini sebagai bentuk rasa cinta pada agama yang dianutnya. Terhadap para pemimpin pemerintahan, masyarakat paninggaran juga sangat menghormatinya. ini sebagai bentuk pengakuan bahwa siapapun yang menjadi kepala daerah kabupaten Pekalongan adalah orang - orang yang benar- benar mempunyai kelebihan di berbagai bidang, khususnya dalam bidang pemerintahan.
Adapun sejarah Mbah Wali Tanduran berawal dari sebuah "Makam" atau mungkin saja "Petilasan" yang terletak di desa paninggaran. Tepatnya seekitar 200 meter dari ibu kota kecamatan paninggran. "Makam" ini cukup dikeramatkan karena masyarakat percaya bahwa Mbah Wali Tanduran adalah termasuk salah seorang tokoh penyebar agama islam dan juga mengajarkan cara bercocok tanam sehingga mendapat sebutan "Wali Tanduran". ini juga sebagai bentuk penghormatan masyarakat Paninggaran khususnya kepada para Tokoh yang dianggap berjasa dalam penyebaran dan pengajaran agama Islam.
Sekali lagi maksud saya memuat Tulisan ini adalah untuk memperbanyak khasanah pengetahuan tentang Wali Tanduran, karena itu apabila ada perbedaan dengan tulisan terdahulu dan pendapat para tokoh saya mengharap kritik dan sarannya. Dan semua yang termuat murni hasil karya dari Yoseph Iskandar dkk. dari Lembaga Penelitian Perencanaan dan Pengabdian Mahasiswa UNIVERSITAS PASUNDANG, BANDUNG, JAWA BARAT. Berikut Kisah selengkapnya :
Silsilah
Wali Tanduran
1. Sri Baduga Maharaja x 2. Nyai Putri Subanglarang
( Prabu Siliwangi)
3. Pangeran
Walangsungsang 4. Nyai Putri Larasantang 5.
Raja Sangara
Atau Cakrabuana atau
Hajjah Syarifah Mudaim
Atau Haji Abdullah Iman
Atau Mbah Wali
Tanduran
6. Nyai Putri Pakungwati x 7. Syarif Hidayatullah
(Sunan
Gunung Jati)
8. Raja-raja Cirebon
1.
Sri
Baduga Maharaja, atau dikenal sebagai Prabu Siliwangi adalah
Penguasa Kerajaan Pajajaran yang beribukota di Pakuan Pajajaran ( Bogor
Sekarang ) pada abad ke-15 Masehi
2.
Nyai
Putri Subanglarang, adalah murid Syekh Quro dari Pesantren Pondok
Quro Pura Dalem Karawang
3.
Pangeran
Walangsungsang, atau Cakrabuana, atau Haji Abdullah Iman,
atau menurut Cerita Rakyat Paninggaran disebut juga sebagai “Mbah Wali Tanduran”
yang mendirikan Kerajaan Islam Cirebon
4.
Nyai
Putri Larasantang, ketika menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah
dengan kakaknya (Pangeran Walangsungsang) ia mendapatkan jodoh dengan Walikota
Mesir yaitu Abdullah yang merupakan keturunan Nabi Besar Muhammad SAW ke-23
5.
Nyai
Putri Pakungwati, adalah putrinya Pangeran Walangsungsang,
ketika Keraton pertama didirikan di Cirebon dinamai pula Keraton Pakungwati
6.
Syarif
Hidayatullah, adalah putranya Nyai Putri Larasantang dari
Abdullah yang Walikota Mesir, Syarif Hidayatullah setelah menggantikan tahta
“Mertua” yang juga “Uwa’ nya yaitu Pengeran Walangsungsang, ia bergelar Sunang
Gunungjati, sebagai salah seorang wali dari Walisongo ing Jawa Dwipa (Pulau
Jawa)
Kisah Mbah Wali Tanduran
Ketika Prabu Siliwangi bertahta di Tatar Sunda,
ia berkuasa atas wilayah dari Ujung Kulon hingga Cipamali (Kali Pemali). Dari
salah seorang Prameswarinya yang beragama Islam, yaitu Nyai Putri Subanglarang,
ia berputra tiga orang yaitu (1) Pangeran Walangsungsang ; (2) Nyai Putri Larasantang
; (3) dan Raja Sangara.
Ketiga puranya itu diijinkan untuk mengikuti
agama Ibunya yang Islam. Namun sebagai putra raja, Pangeran Walangsungsang
tidak merasa puas belajar mengaji dari ibunya saja. Ia menjadi “”Satria
Pengembara” mencari guru-guru agama yang dianggapnya memiliki Ilmu Islam yang
tinggi.
Dalam suatu pengembaraannya di Gunung Merapi,
dari orang-orangtua disamana memberikan wejangan “Kalau ingin menemukan guru
agama yang baik dan tinggi ilmunya, temui saja Syekh Datuk Kahfi di Pesantren Amparan
Jati Cirebon’.
Pangerang Walangsungsang berangkat dari Gunung
Merapi ke Cirebon dengan cara jalan memintas. Dalam perjalanannya menuju
Cirebon, berkali-kali Pangeran Walangsungsang berhenti dan beristirahat di
berbagai tempat. Di setiap persinggahan, Pangeran Walangsungsang mengajarkan
berbagai ilmu, diantaranya Ilmu Agama Islam, Ilmu Bertani dan Berladang, juga
ilmu berburu binatang buas. Ilmunya itu dipelajari oleh masyarakat yang disinggahinya.
Di sebuah Pedukuhan, Pangeran Walangsungsang
dikenal sebagai ahli bertani. Ilmu bercocok tanam ini dinamakan masyarakat
dengan sebutan “Tanduran” oleh karena Pangeran Walangsungsang tak pernah
memberitahukan nama aslinya (sedang menyamar) sehingga oleh masyarakat dan
murid-muridnya hanya dikenal sebagai “Mbah Wali Tanduran”.
Kegemarannya sebagai pemburu Binatang Buas,
sehingga oleh masyarakat setempat dikenal juga sebagai “Paninggaran” hingga
kini sebutan itu melekat erat dan dijadikan nama desa yang juga Kecamatan,
yaitu Desa Paninggaran dan Kecamatan Paninggaran.
Selama Pangeran Walangsungsang tinggal di Dusun
yang sekarang dikenal “ Paninggaran” adiknya, Nyai Putri Larasantang
mencarinya, dikawal ketat oleh pasukan Khusus Pajajaran yang terdiri dari
“Harimau Lodaya”.
Nyai putri Larasantang singgah dan beristirahat
di sebuah Puncak Gunung, sambil berdzikir memohon kepada Allah SWT, agar
kakaknya yang ia cari dapat diketemukan. Setelah berhari-hari beristirahat di
Puncak Gunung, ia mendapat petunjuk dari Alam Ghaib bahwa kakaknya itu berada
di sebuah Dusun di kaki gunung yang dipakainya beristirahat.
Di sebuah bukit, yang sekarang disebut Dukuh
Cokrah, Nyai Larasantang menemukan “Petilasan” yang terdiri dari hamparan
batu-batu bekas tempat bertapa. Di Petilasan itu ia menadpatkan petunjuk, bahwa
tempat tersebut asalnya tempat Mbah Wali Tanduran mengajarkan berbagai ilmunya.
Namu sangat disayangkan, mbah Wali Tanduran yang rambutnya suka digelung
(Magelung) itu, talah berangkat tapa meninggalkan pesan apa-apa, dan tidak memberitahukan
kemana Mbah Wali Tanduran pergi.
Dengan rasa kecewa, akhirnya Nyai putri
Larasantang meneruskan perjalanannya, bertanya-tanya ke setiap penduduk. Di
sebuah tempat, tepatnya di Puncak Bukit,
Nyai Larasantang menemui para pengawalnya yang terdiri dari “Harimau Lodaya”. Ia dengan pasukannya, beristirahat kembali di
puncak bukit itu, semacam pesanggrahan yang dihampari batu-batuan yang juga disebut
“Pesarean” yang juga berfungsi sebagai tempat bertapa, berdzikir memohon
petunjuk dari Allah yang Maha Kuasa.
Dalam dzikirnya itu, Nyai Putri Larasantang
mendapatkan petunjuk gaib, bahwa kakaknya yang ia cari sudah berada di
Pesantren Amparan Jati Cirebon. Akhirnya Nyai Putri Larasantang bertemu dengan
kakaknya di Pesantren Amparan Jati, yaitu Raja Sangara. Setelah menamatkan Ilmu
Agama Islamnya, ketiga putra-putri Prabu Siliwangi itu, pergi menunaikan Ibadah
Haji ke Mekkah.
Dukuh Cakal-bakal (Pertama) tempat
murid-muridnya Mbah Wali Tanduran disebut “Dukuh Pesantren” yang hingga kini
terdiri dari Sebelas Rumah, dikenal sebagai “Kampung Pesantren”.
Puncak gunung tempat pertapaan (Peristirahatan)
Nyai Putri Larasantang yang pertama, kemudian dikenal sebagai Gunung Pajajaran.
Sedangkan bukit tempat peristirahatan yang kedua dikenal sebagai Gunung Santri.
Wallahuallam bishawab.
Kisah
ini bisa tersusun atas bantuan informasi dari :
1.
Bapak Penilik Kebudayaan
Kecamatan Paninggaran, yaitu Bapak Suwadi di Paninggaran
2.
Bapak Kyai Muhammad di
Paninggaran
3.
Bapak KH. Syarifudin di
Wonopringgo
4.
Pustaka Purwaka Caruban Nagari,
Transliterasi Pangeran Suleman Sulendraningrat, Kaprabon Cirebon.
5.
Pustaka Pangeran Wangsakerta,
Cirebon
6.
Masyarakat Desa Paninggaran
Kecamatan Paninggaran Kabupaten Pekalongan yang dipimpin oleh Bapak Lurah
H.Ahmad Hilal
Paninggaran, 5 Pebruari 1989
Disusun berdasarkan rasa cinta kepada
masyarakat Desa Paninggaran
Oleh
1.
Yosep Iskandar ( Ketua Tim )
2.
Drs. Deden Guntari ( Anggota )
3.
Dra. Anne Erlyane ( Anggota )
Dari Universitas Pasundan
JL. Tamansari No. 8 Bandung